KATA PENGATAR
Puji
syukur kami ucapkan atas penyertaan Tuhan,karena dengan rahmat dan karnunia-nya
kami masih di beri kesempatan untuk menyelesai makalah ini.tidak lupa kami
ucapkan kepada dosen pembibing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini.
tentang kanonisasi perjanjian baru.
tentang kanonisasi perjanjian baru.
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,oleh sebab
itu penulisan mengharap kan kritik dan saran yang membangun.dan semoga dengan
selesaianya makalah ini dapat bermafaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin....
Palangka
Raya, Oktober 2014
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
1.3
Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kanonisasi
2.2. Kanon perjanjian baru di
gereja
2.3. Kanon Perjanjian Baru pada Jemaat mula-mula
2.4. Injil Sebelum Kanonisasi
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kata
kanon digunakan sebagai istilah teknis untuk merujuk pada koleksi kitab Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru.
Meskipun pembentukan kanon Perjanjian Baru sudah dimulai sejak zaman apostolik,
tetapi pengakuan pada seluruh Perjanjian Baru baru tercapai setelah beberapa
abad kemudian.
1.2
Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan yang
tercantum pada dalam rumusan masalah dibawah ini.
1.3
Rumusan
Masalah
Ø Apa
yang dimaksud dengan kata kanon ?
Ø Bagaimana
kanon perjanjian baru di gereja ?
Ø
Kanon
Perjanjian Baru pada Jemaat mula-mula ?
Ø
Injil
sebelum kanonisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Kanonisasi
Istilah kanon berasal
dari bahasa Yunani yang berarti 'tongkat pengukur, standar atau norma'. Secara
historis, Alkitab telah menjadi norma yang berotoritas bagi iman dan kehidupan
bergereja. Proses pengkanonan ini dilakukan oleh berpuluh-puluh ahli kitab suci
dan bahasa yang dengan teliti dan serius memilah-milah banyak tulisan yang
dianggap suci untuk menemukan kitab-kitab yang benar-benar suci dan diwahyukan
Allah untuk kemudian dijadikan satu.
Tanda-tanda kanonitas meliputi:
- Kitab tersebut ditulis atau disahkan oleh para nabi/rasul.
- Kitab tersebut diakui otoritasnya di kalangan gereja mula-mula.
- Kitab tersebut mengajarkan hal yang selaras dengan kitab-kitab lainnya yang jelas termasuk dalam kanon.
Setelah Tuhan Yesus naik ke surga, belum sebuah kitab pun ditulis mengenai diri dan ajaran-Nya, karena belum dirasa perlu – para saksi mata utama masih hidup. Jadi Injil masih dalam bentuk verbal, lisan; dari mulut ke mulut, oleh para rasul.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para saksi mata dan para rasul berkurang, dan semakin banyak ancaman pemberitaan ajaran-ajaran sesat. Pada masa itu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang bercorak rohani, yang sebenarnya bukan Firman Allah. Oleh karena itu gereja merasakan pentingnya ditentukan kitab-kitab mana sajakah yang dapat diakui berotoritas sebagai Firman Allah. Kemudian para rasul mulai menuliskan surat-suratnya untuk para jemaat, lalu perlahan-lahan dibuat salinan surat-surat itu untuk berbagai gereja dan salinan itu dibacakan dalam pertemuan gereja (Kolose 4:16;
1 Tesalonika 5:7, Wahyu 1:3). Tulisan-tulisan ini diinspirasikan oleh Allah (2 Petrus 1:20-21; Wahyu 22:18; Efesus 3:5).
Pada waktu yang bersamaan, ada banyak orang-orang yang menulis kitab-kitab tentang Yesus dan surat-surat ke gereja-gereja, yang tidak termasuk kanon. Lambat-laun gereja-gereja mulai jelas mengenai kitab-kitab mana yang diinspirasikan oleh Roh Kudus dan mana yang bukan.
- Kitab tersebut ditulis atau disahkan oleh para nabi/rasul.
- Kitab tersebut diakui otoritasnya di kalangan gereja mula-mula.
- Kitab tersebut mengajarkan hal yang selaras dengan kitab-kitab lainnya yang jelas termasuk dalam kanon.
Setelah Tuhan Yesus naik ke surga, belum sebuah kitab pun ditulis mengenai diri dan ajaran-Nya, karena belum dirasa perlu – para saksi mata utama masih hidup. Jadi Injil masih dalam bentuk verbal, lisan; dari mulut ke mulut, oleh para rasul.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para saksi mata dan para rasul berkurang, dan semakin banyak ancaman pemberitaan ajaran-ajaran sesat. Pada masa itu banyak ditemukan tulisan-tulisan yang bercorak rohani, yang sebenarnya bukan Firman Allah. Oleh karena itu gereja merasakan pentingnya ditentukan kitab-kitab mana sajakah yang dapat diakui berotoritas sebagai Firman Allah. Kemudian para rasul mulai menuliskan surat-suratnya untuk para jemaat, lalu perlahan-lahan dibuat salinan surat-surat itu untuk berbagai gereja dan salinan itu dibacakan dalam pertemuan gereja (Kolose 4:16;
1 Tesalonika 5:7, Wahyu 1:3). Tulisan-tulisan ini diinspirasikan oleh Allah (2 Petrus 1:20-21; Wahyu 22:18; Efesus 3:5).
Pada waktu yang bersamaan, ada banyak orang-orang yang menulis kitab-kitab tentang Yesus dan surat-surat ke gereja-gereja, yang tidak termasuk kanon. Lambat-laun gereja-gereja mulai jelas mengenai kitab-kitab mana yang diinspirasikan oleh Roh Kudus dan mana yang bukan.
2.2
Kanon perjanjian baru di gereja
Catatan tentang kanon Perjanjian Baru di Gereja
Timur diperoleh dari Origen. Dia menulis bahwa ada perbedaan antara jemaat-jemaat
dalam hal dengan isi Perjanjian Baru. Pada umumnya jemaat-jemaat di Gereja
Timur menerima keempat Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, 1 Petrus,
dan 1 Yohanes, dan Wahyu sebagai buku kanon, tetapi 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes,
Ibrani, dan Yudas hanya diterima oleh sebagian jemaat. Origen juga mencatat
Gembala Hermas, Injil Barnabas, dan Didakhe tetap dimasukkan dalam kitab
Perjanjian Baru, tetapi jemaat-jemaat berkeyakinan bahwa buku-buku itu bukan
berasal dari para rasul. [26]
Meskipun dalam catatan Origen buku
Wahyu sudah diterima secara umum sebagai buku kanonik, pada abad ketiga Kristen
Ortodoks mulai mempertanyakan keaslian buku ini. Dionysius, uskup Alexandria
menulis sebuah risalah di mana ia menyangkal kerasulan penulis buku ini. Para
ahli kitab di Aleksandria juga meragukan kitab Wahyu karena ajaran penghakiman
dan realitas kerajaan surgawi pada kitab itu tidak cocok dengan teologi mereka.
Sebagai hasil dari kontroversi ini, banyak jemaat-jemaat menolak buku ini
sementara jemaat-jemaat lain tetap menggunakannya.
Pada saat Kekristenan disahkan
menjadi agama kerajaan di Kekaisaran Romawi tahun 313, daftar buku yang diakui
dan yang ditolak sebagai kanon telah terbentuk. Eusebius pada
tahun 325 menulis bahwa buku-buku Perjanjian Baru dibagi atas tiga kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari "Buku yang Diakui", antara lain:
keempat Injil, Kisah Para Rasul, 14 surat-surat Paul (termasuk Ibrani), 1
Yohanes, 1 Petrus, dan Wahyu. Kelompok dua adalah terdiri dari "Buku
yang dipermasalahkan", yang dibagi lagi menjadi “karya asli”, antara
lain: Yakobus, Yudas, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, dan "karya tidak
asli", antara lain: Kisah Paulus, Gembala Hermas, Wahyu Petrus, Surat
Barnabas, dan buku Didakhe. Kelompok ketiga adalah "Tulisan-tulisan sesat
dan fasik", seperti: Injil Petrus, Thomas, Matthias. [27]
Catatan Eusebius menunjukkan dengan
jelas bahwa orang Kristen memisahkan kitab-kitab kanon dari yang bukan kanon
sebelum agama Kristen menjadi agama kerajaan di awal abad keempat. Buku-buku
yang ia klasifikasikan sebagai "Buku yang Diakui" dan "Buku yang
dipermasalahkan – karya asli” adalah 27 buku-buku Perjanjian Baru yang diakui
sebagai kanonik oleh semua orang Kristen dewasa ini.
Kanon Perjanjian Baru di Gereja berbahasa Yunani
Salah satu faktor penting dalam
menyelesaikan masalah kanon dalam Gereja berbahasa Yunani adalah deklarasi Athanasius
dari Alexandria, dalam Surat Paskah ke-39 tahun 367. Sebagai orang terkemuka
pada masanya, Athanasius mengatakan bahwa kanon Perjanjian Baru terdiri dari 27
buku. Dari semua karya apokrif, ia menyatakan Didakhe dan Gembala Hermas dapat
digunakan untuk mendidik calon di kelas baptisan meskipun bukan buku kanonik.
Meskipun arahan Athanasius hanya
mengikat secara hukum di wilayah Mesir di mana dia mengakui pemimpin spiritual,
namun kepribadiannya yang kuat membuat gereja yang berbahasa Yunani di wilayah
lain juga dipengaruhi oleh keputusannya.
Kanon Perjanjian Baru di Gereja berbahasa Suriah
Sejarah pembentukan kanon berbeda
untuk gereja berbahasa Suriah, yang terletak di perbatasan timur kekaisaran
Romawi, di daerah Eufrat Utara, Mesopotamia, dan Persia. Injil mungkin diterjemahkan
ke dalam bahasa Siriah sebelum tahun 200, seperti yang ditunjukkan oleh Naskah Curetonian dan Naskah Sinaitic.
Hanya sedikit yang diketahui tentang
terbentuknya kitab Perjanjian Baru antara gereja-gereja Suriah. Dari Doctrina
Addai, yang ditulis sekitar tahun 350, tampak bahwa surat-surat Paulus dan
Kisah Para Rasul digunakan di gereja-gereja berbahasa Suriah bersama dengan
Perjanjian Lama dan Injil. Tetapi tidak diketahui bagaimana awalnya
gereja-gereja Suriah mengakui buku-buku ini. Dari naskah kuno yang berasal dari
abad ketiga yang ditemukan di salah satu biara di Gunung Sinai hanya diperoleh
buku: keempat Injil, Kisah Para Rasul, dan surat-surat Paulus, termasuk Ibrani.
2.3 Kanon
Perjanjian Baru pada Jemaat mula-mula
Kanon Perjanjian Baru dimulai dengan beredarnya kisah kehidupan Yesus secara lisan. Salah satu
bukti dari hal ini adalah saat Paulus berbicara kepada para penatua di Efesus bahwa ada
orang-orang yang menggunakan kisah kehidupan Yesus yang muncul di mana-mana. Tradisi
lisan tentang kisah kehidupan Yesus ini berlanjut hingga abad kedua [2]
Pada saat yang sama, pada generasi pertama orang Kristen telah
muncul catatan tertulis tentang kehidupan Yesus. Lukas bersaksi pada
saat itu “banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, [3]
sehingga dapat diasumsikan bahwa gereja-gereja telah memiliki Injil yang
tertulis sebelum akhir Abad Pertama. Justin
Martyr, sekitar tahun 150 M, menggunakan istilah ta euaggelia
sebagai sebutan pada catatan-catatan tentang kehidupan Yesus ini. [4]
Selain Injil, karya Kristen yang lain
juga telah beredar di jemaat mula-mula, di antaranya adalah surat-surat Paulus.
Paulus menulis untuk memenuhi masalah spesifik di beberapa jemaat tertentu, dan
dia mendorong distribusi surat-suratnya. [5]
Sebelum meneruskan suratnya kepada jemaat lain, jemaat setempat biasanya akan membuat
salinan. Dengan cara ini surat-surat Paulus pertama disalin dan kemudian
koleksi salinan ini tumbuh. Koleksi surat-surat Paulus sudah ada pada zaman
apostolik seperti mengisyaratkan oleh Petrus[6],
sekitar tahun 65 M. Hal ini dikuatkan juga oleh Clement dari Roma yang
menyatakan,"bawalah surat-surat Rasul Paulus diberkati" dalam
suratnya pada jemaat di Korintus sekitar tahun 100 M [7]Permintaan
Clement ini tidak hanya menunjukkan bahwa surat ini telah disimpan di Korintus,
tetapi juga menunjukkan bahwa Clement kemudian memiliki salinan surat-surat
Paulus di Roma.
Bukti lain sehubungan dengan
distribusi awal tulisan-tulisan Paulus adalah dari Ignatius dan Polikarpus,
keduanya menulis pada awal abad kedua. Sekitar tahun 117 M, Ignatius menulis
dari Smirna ke
jemaat di Efesus
bahwa Paulus "di dalam semua suratnya menyebut kamu dalam Kristus
Yesus". [8]
Pada pertengahan abad kedua, Polikarpus menulis kepada jemaat di Filipi tentang
Paulus bahwa "ketika ia tidak ada di antara kamu, ia menulis surat pada
kamu, yang jika kamu pelajari hati-hati, kamu akan menemukan cara dalam
membangun iman yang telah diberikan kepada kamu." Polikarpus juga
mengutip pernyataan Paulus dalam Efesus 4:26 sebagai "Kitab
Suci". [9]
Hal ini jelas menunjukkan bahwa baik Ignatius dan Polikarpus mengetahui dengan
baik surat-surat Paulus, dan mereka mengharapkan gereja-gereja juga mempelajari
surat-surat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa tampaknya koleksi surat-surat
Paulus telah memiliki distribusi luas beberapa dekade setelah kematiannya.
Surat-surat selain dari Paulus juga
telah beredar luas pada jemaat yang mula-mula. Surat Petrus yang Pertama yang ditujukan
pada orang-orang Kristen di lima propinsi di Asia Kecil
adalah dalam bentuk surat edaran.[10]
Yakobus juga menulis suratnya dalam bentuk yang sama : "kepada
kedua belas suku yang tersebar di perantauan". [11]
Yohanes mengirimkan kitab Wahyu pada tujuh gereja di provinsi Romawi di Asia,
khususnya dia mengungkapkan bahwa kitab itu adalah inspirasi ilahi.[12]
Dari bukti itu adalah jelas bahwa
buku-buku yang berasal dari zaman para rasul yang baik menceritakan kehidupan
Yesus atau surat yang berisi pesan penting dari rasul sangat dihargai oleh
Gereja dan dianggap otoritatif.
2.4
Injil Sebelum Kanonisasi
Mungkin sangat
mengejutkan bagi sebagian besar kaum Kristen jika menyadari bahwa
tulisan-tulisan Kristen awal hanya memberi sedikit perhatian kepada kata-kata
dan perbuatan-perbuatan Yesus. Misalnya, surat-surat Paulus (Saulus dari
Tarsus) hanya memberikan kiasan-kiasan sangat sederhana mengenai Yesus dalam
sejarah (historical Jesust). Begitu sederhana, dalam gereja Kristen awal
yang menghasilkan literatur Kristen pertama yang dipelihara, yaitu aspek dari
gereja awal yang biasanya diidentifikasi sebagai Paulus atau non-Yahudi, Yesus
dalam sejarah diidentikkan dengan apa yang diyakini sebagai proses pengilhaman
dan pewahyuan yang terus berjalan. Oleh karenanya, apa yang dikatakan,
dilakukan, atau diwahyukan oleh Yesus dalam sejarah sama sekali berlebihan.
Yang penting adalah bahwa setiap individu bisa mengklaim otoritas ilahi bagi
pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisannya, dengan menyeru pada pengilhaman
dan pewahyuan yang terus berjalan melalui Yesus yang konon
"dibangkitkan-kembali". Kenyataannya, seluruh klaim Paulus terhadap
otoritas apostolik (rasuli) didasarkan pada penegasan yang membesarkan
diri-sendiri.1 Dengan demikian, injil-injil yang diakui berkaitan dengan
kehidupan, sejarah, dan perkataan-perkataan Yesus sebenarnya merupakan
perkembangan yang relatif belakangan dalam literatur Kristen awal.2
Biasanya selalu dinyatakan oleh para sarjana alkitabiah bahwa pada awalnya, injil-injil tersebut berupa seni sastra selama perempat terakhir abad pertama Masehi.3 Lebih jauh, hingga kira-kira tahun 130 M, salah seorang Bapa Rasuli, yaitu, Papias, uskup Hierapolis, belum benar-benar menyebut injil sebagai nama.4 Selain itu, bahkan setelah injil-injil itu mulai tampil sebagai satu bentuk karya sastra, injil-injil tersebut tidak sering dikutip sebagai teks otoritatif oleh para pendeta gereja awal. Kenyataannya, selama pertengahan pertama abad ke-2 M, kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus sebagaimana dicatat dalam pelbagai macam injil jarang sekali dianggap sebagai teks otoritatif. Baru menjelang akhir perempat ketiga abad ke-2 M, injil-injil tersebut mulai memiliki peran sebagai kitab suci yang otoritatif dalam gereja-gereja Kristen awal.5 Namun, tulisan injil kemudian mulai mengambil bentuk seni sastra, dan ini akhirnya mengarah pada munculnya injil yang sangat banyak. Berikut ini daftar injil-injil yang berhasil diidentifikasi.
DAFTAR INJIL-INJIL SEBELUM KANONISASI
1. Injil Markus
2. Injil Matius
3. Injil Lukas
4. Injil Yohanes
5. Dialog Sang Juru Selamat
6. Injil Andreas
7. Injil Apelles
8. Injil Bardesanes
9. Injil Barnabas
10. Injil Bartelomeus
11. Injil Basilides
12. Injil Kelahiran Maria
13. Injil Cerinthus
14. Injil Hawa
15. Injil Ebionit
16. Injil Orang-orang Mesir
17. Injil Encratites
18. Injil Empat Wilayah Surgawi
19. Injil Orang-orang Ibrani
20. Injil Hesychius
21. Injil Masa Kecil Yesus Kristus
22. Injil Judas Iskariot
23. Injil Jude
24. Injil Marcion
25. Injil Mani
26. Injil Maria
27. Injil Matthias
28. Injil Merinthus
29. Injil Menurut Kaum Nazaret
30. Injil Nikomedus
31. Injil Kesempurnaan
32. Injil Petrus
33. Injil Philipus
34. Injil Pseudo-Matius
35. Injil Scythianus
36. Injil Tujuh Puluh
37. Injil Thaddaeus
38. Injil Tomas
39. Injil Titan
40. Injil Kebenaran
41. Injil Dua Belas Rasul
42. Injil Valentinus
43. Protevangelion James
44. Injil Rahasia Markus
45. Injil Tomas tentang Masa Kecil Yesus Kristus.
Injil Setelah Kanonisasi
Dua puluh tujuh kitab yang disebut Perjanjian Baru dalam Alkitab merupakan kitab suci yang khusus bagi agama Kristen. Di antara ke-27 kitab ini (buka: Alkitab), salah satunya adalah kitab Wahyu Yohanes, 1 berupa sejarah gereja awal (Kisah Para Rasul), 21 merupakan surat-surat dari jenis yang satu atau lainnya (Paulus dan lainnya), dan 4 disebut sebagai injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes). Sangatlah tidak mungkin bahwa ke-27 kitab ini ditulis oleh setiap orang yang memiliki hubungan langsung dengan Yesus,7 meskipun masing-masing dari keempat injil itu memuat sejarah ajaran dan kenabian Yesus.
Sangat mungkin bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang secara bertahap selama beberapa abad. Pada awalnya, selama tiga abad pertama dari apa yang disebut era Kristen, tidak ada konsep mengenai kanon yang resmi dan tertutup berkenaan dengan kitab suci Perjanjian Baru. Beragam kitab dipandang sebagai kitab suci bergantung pada kekuatan klaimnya yang menyatakan sendiri bahwa kitab tersebut diwahyukan dari Tuhan. Peredaran dan popularitasnya di berbagai gereja Kristen menentukan kekuatan klaim itu. Akibatnya, apa yang dulunya dianggap sebagai kitab suci di satu tempat tidak lagi selalu dianggap demikian di tempat lain.
Namun demikian, pada awal abad ke-4 M, situasi tersebut mulai berubah. Dalam bukunya Ecclesiastical History, Eusebius Pamphili, uskup Kaisarea pada abad ke-4 M, mengusulkan sebuah kanon kitab suci Perjanjian Baru di mana ia mengabaikan banyak kitab yang sekarang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup Aleksandria, mengedarkan sepucuk surat Orang Timur, yang memasukkan daftar pertama kitab suci Perjanjian Baru yang sesuai dengan Perjanjian Baru sekarang, meskipun hanya beberapa tahun sebelumnya ia telah memperjuangkan Gembala Hermas (The Shepherd of Hermas) sebagai kitab suci yang akurat dan kanonik. Kitab suci Perjanjian Baru kemudian diratifikasi oleh Dewan Hippo tahun 393 M, Sinode Chartage tahun 397 M, dan Dewan Carthagina tahun 419 M. Namun demikian, tidak seluruh gereja Timur sepakat dengan kanon yang diusulkan ini hingga saat ketika terjemahan dalam bahasa Suriah yang kira-kira muncul pada tahun 508 M akhirnya sesuai dengan kanon ini.
Dengan demikian, memerlukan waktu tiga hingga lima abad untuk mengikuti selesainya kenabian Yesus sebelum gereja-gereja Kristen awal merumuskan kanon akhir yang terdiri atas 27 kitab, yang kini merupakan Perjanjian Baru. Di antara ke-27 kitab ini, Al-Qur'an hanya merujuk pada Injil Yesus; empat injil kanonik agama Kristen pasti bukan merupakan kitab wahyu ini, meskipun mereka memasukkan bagian-bagian dari kitab ini dalam pelbagai catatan mereka mengenai "sabda-sabda" yang konon berasal dari Yesus.
Biasanya selalu dinyatakan oleh para sarjana alkitabiah bahwa pada awalnya, injil-injil tersebut berupa seni sastra selama perempat terakhir abad pertama Masehi.3 Lebih jauh, hingga kira-kira tahun 130 M, salah seorang Bapa Rasuli, yaitu, Papias, uskup Hierapolis, belum benar-benar menyebut injil sebagai nama.4 Selain itu, bahkan setelah injil-injil itu mulai tampil sebagai satu bentuk karya sastra, injil-injil tersebut tidak sering dikutip sebagai teks otoritatif oleh para pendeta gereja awal. Kenyataannya, selama pertengahan pertama abad ke-2 M, kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus sebagaimana dicatat dalam pelbagai macam injil jarang sekali dianggap sebagai teks otoritatif. Baru menjelang akhir perempat ketiga abad ke-2 M, injil-injil tersebut mulai memiliki peran sebagai kitab suci yang otoritatif dalam gereja-gereja Kristen awal.5 Namun, tulisan injil kemudian mulai mengambil bentuk seni sastra, dan ini akhirnya mengarah pada munculnya injil yang sangat banyak. Berikut ini daftar injil-injil yang berhasil diidentifikasi.
DAFTAR INJIL-INJIL SEBELUM KANONISASI
1. Injil Markus
2. Injil Matius
3. Injil Lukas
4. Injil Yohanes
5. Dialog Sang Juru Selamat
6. Injil Andreas
7. Injil Apelles
8. Injil Bardesanes
9. Injil Barnabas
10. Injil Bartelomeus
11. Injil Basilides
12. Injil Kelahiran Maria
13. Injil Cerinthus
14. Injil Hawa
15. Injil Ebionit
16. Injil Orang-orang Mesir
17. Injil Encratites
18. Injil Empat Wilayah Surgawi
19. Injil Orang-orang Ibrani
20. Injil Hesychius
21. Injil Masa Kecil Yesus Kristus
22. Injil Judas Iskariot
23. Injil Jude
24. Injil Marcion
25. Injil Mani
26. Injil Maria
27. Injil Matthias
28. Injil Merinthus
29. Injil Menurut Kaum Nazaret
30. Injil Nikomedus
31. Injil Kesempurnaan
32. Injil Petrus
33. Injil Philipus
34. Injil Pseudo-Matius
35. Injil Scythianus
36. Injil Tujuh Puluh
37. Injil Thaddaeus
38. Injil Tomas
39. Injil Titan
40. Injil Kebenaran
41. Injil Dua Belas Rasul
42. Injil Valentinus
43. Protevangelion James
44. Injil Rahasia Markus
45. Injil Tomas tentang Masa Kecil Yesus Kristus.
Injil Setelah Kanonisasi
Dua puluh tujuh kitab yang disebut Perjanjian Baru dalam Alkitab merupakan kitab suci yang khusus bagi agama Kristen. Di antara ke-27 kitab ini (buka: Alkitab), salah satunya adalah kitab Wahyu Yohanes, 1 berupa sejarah gereja awal (Kisah Para Rasul), 21 merupakan surat-surat dari jenis yang satu atau lainnya (Paulus dan lainnya), dan 4 disebut sebagai injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes). Sangatlah tidak mungkin bahwa ke-27 kitab ini ditulis oleh setiap orang yang memiliki hubungan langsung dengan Yesus,7 meskipun masing-masing dari keempat injil itu memuat sejarah ajaran dan kenabian Yesus.
Sangat mungkin bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang secara bertahap selama beberapa abad. Pada awalnya, selama tiga abad pertama dari apa yang disebut era Kristen, tidak ada konsep mengenai kanon yang resmi dan tertutup berkenaan dengan kitab suci Perjanjian Baru. Beragam kitab dipandang sebagai kitab suci bergantung pada kekuatan klaimnya yang menyatakan sendiri bahwa kitab tersebut diwahyukan dari Tuhan. Peredaran dan popularitasnya di berbagai gereja Kristen menentukan kekuatan klaim itu. Akibatnya, apa yang dulunya dianggap sebagai kitab suci di satu tempat tidak lagi selalu dianggap demikian di tempat lain.
Namun demikian, pada awal abad ke-4 M, situasi tersebut mulai berubah. Dalam bukunya Ecclesiastical History, Eusebius Pamphili, uskup Kaisarea pada abad ke-4 M, mengusulkan sebuah kanon kitab suci Perjanjian Baru di mana ia mengabaikan banyak kitab yang sekarang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup Aleksandria, mengedarkan sepucuk surat Orang Timur, yang memasukkan daftar pertama kitab suci Perjanjian Baru yang sesuai dengan Perjanjian Baru sekarang, meskipun hanya beberapa tahun sebelumnya ia telah memperjuangkan Gembala Hermas (The Shepherd of Hermas) sebagai kitab suci yang akurat dan kanonik. Kitab suci Perjanjian Baru kemudian diratifikasi oleh Dewan Hippo tahun 393 M, Sinode Chartage tahun 397 M, dan Dewan Carthagina tahun 419 M. Namun demikian, tidak seluruh gereja Timur sepakat dengan kanon yang diusulkan ini hingga saat ketika terjemahan dalam bahasa Suriah yang kira-kira muncul pada tahun 508 M akhirnya sesuai dengan kanon ini.
Dengan demikian, memerlukan waktu tiga hingga lima abad untuk mengikuti selesainya kenabian Yesus sebelum gereja-gereja Kristen awal merumuskan kanon akhir yang terdiri atas 27 kitab, yang kini merupakan Perjanjian Baru. Di antara ke-27 kitab ini, Al-Qur'an hanya merujuk pada Injil Yesus; empat injil kanonik agama Kristen pasti bukan merupakan kitab wahyu ini, meskipun mereka memasukkan bagian-bagian dari kitab ini dalam pelbagai catatan mereka mengenai "sabda-sabda" yang konon berasal dari Yesus.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat di simpulkan :
ü Kanonisasi
dari bahasa Yunani yang berarti 'tongkat pengukur, standar atau norma'. Secara
historis, Alkitab telah menjadi norma yang berotoritas bagi iman dan kehidupan
bergereja.
ü Salah satu faktor penting dalam menyelesaikan masalah kanon dalam
Gereja berbahasa Yunani adalah deklarasi Athanasius
dari Alexandria, dalam Surat Paskah ke-39 tahun 367. Sebagai orang terkemuka
pada masanya, Athanasius mengatakan bahwa kanon Perjanjian Baru terdiri dari 27
buku. Dari semua karya apokrif, ia menyatakan Didakhe dan Gembala Hermas dapat
digunakan untuk mendidik calon di kelas baptisan meskipun bukan buku kanonik.
ü Kanon
Perjanjian Baru dimulai dengan beredarnya kisah kehidupan Yesus
secara lisan.
Salah satu bukti dari hal ini adalah saat Paulus
berbicara kepada para penatua di Efesus
bahwa ada orang-orang yang menggunakan kisah kehidupan Yesus yang muncul di
mana-mana.
ü Dalam
gereja Kristen awal yang menghasilkan literatur Kristen pertama yang
dipelihara, yaitu aspek dari gereja awal yang biasanya diidentifikasi sebagai
Paulus atau non-Yahudi, Yesus dalam sejarah diidentikkan dengan apa yang
diyakini sebagai proses pengilhaman dan pewahyuan yang terus berjalan. Oleh
karenanya, apa yang dikatakan, dilakukan, atau diwahyukan oleh Yesus dalam
sejarah sama sekali berlebihan.
3.2
Saran
Penulis
menyadari dalam pembuatan makalah ini tidaklah sempurna dan masih banyak yang
harus deperbaiki.oleh karenaitu,penulis memohon sran dan kritik yang membangun
dari pembaca agar untuk di kemudian hari penulis dapat menyusuh makalah yang
lebih baik lagi.semoga makalah ini bermafaat semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Beckwith Roger, The Old Testament
Canon Of The New Testament Church.
(London: SPCK, 1985).
Jeffery Arthur, "The Canon Of
The Old Testament", The Interpreter's Bible Vol. I. (Nashville:
Abingdon, 1978).
Metzger, Bruce M., The Canon Of
The New Testament. (New York Oxford University Press, 1989